Seren Taun adalah upacara adat
panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara
ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda. Upacara adat
sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat
sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara
istilah
Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang
artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang
berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun
yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi
masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun
ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan
datang.
Lebih
spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa
padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau
dalam bahasa Sunda disebut leuit. [1] Ada dua leuit;
yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit
ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta
leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit
indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang
ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di
kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim
tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang
tidak tertampung di leuit indung.
Menurut
catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun
dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba
seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi
Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem
kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan masyarakat
asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah karuhun (nenek
moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran Hindu.
Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang memberikan
kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan sebagai Nyi
Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya adalah
Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah (Padi
Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan
laki-laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga.
Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan delapan
tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru Bumi yang
dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan
di tiap wilayah. Upacara besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau
sewindu disebut upacara Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara
Kuwera Bakti yang dilaksanakan khusus di Pakuan.[2]
Kegiatan
Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran
runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta
Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an. Setelah
kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren Taun dihidupkan kembali sejak
tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang, Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari,
Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya
membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda.[3]
Di Cigugur,
Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22
Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa,
dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran
Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim
panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.
Masyarakat
pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap
menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes, Kasepuhan Banten Kidul,
dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam, di
beberapa desa adat Sunda seperti Sindang Barang, ritual Seren Taun tetap
digelar dengan doa-doa Islam. Upacara seren taun bukan sekadar tontonan,
melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga
dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
Rangkaian
ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke
desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen
dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke
dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping.
Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk
padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin
desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Di beberapa
desa adat upacara biasanya diawali dengan mengambil air suci dari beberapa
sumber air yang dikeramatkan. Biasanya air yang diambil berasal dari tujuh mata
air yang kemudian disatukan dalam satu wadah dan didoakan dan dianggap bertuah
dan membawa berkah. Air ini dicipratkan kepada setiap orang yang hadir di
upacara untuk membawa berkah. Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang
hadir berebut mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah yang dipercaya
kue itu memberi berkah yang berlimpah bagi yang mendapatkannya. Kemudian ritual
penyembelihan kerbau yang dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak
mampu dan makan tumpeng bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang
golek.[3]
Puncak acara
seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut
atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni
tari buyung, angklung baduy, dan angklung
buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur.
Rangkaian
acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa
yang disampaikan secara bergantian oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan
akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada
masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun
akhirnya terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat,
maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang
lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci
Sanghyang Asri).
Dalam
upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat.
Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung,
dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar.
Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari
Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang
dari Baduy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar