Senin, 03 Desember 2012

D'Masiv - Pergilah Kasih lyrics

  lirik lagu tentang keadilan
oleh : Resti Pitasari
npm : 36412148

 

                                                D'Masiv - Pergilah Kasih lyrics
tak pernah ku sangka ini terjadi
kisah cinta yang suci ini
kau tinggalkan begitu saja
sekian lama kita berdua
tak ku sangka cepat berlalu
tuk mencari kesombongan diri
lepas segala yang pernah kau ucapkan
kau tinggalkan daku

pergilah kasih kejarlah keinginanmu
selagi masih ada waktu
jangan hiraukan diriku
aku rela berpisah demi untuk dirimu
semoga tercapai segala keinginanmu

tak ku sangka cepat berlalu
tuk mencari kesombongan diri
lepas segala yang pernah kau ucapkan
kau tinggalkan daku

pergilah kasih kejarlah keinginanmu
selagi masih ada waktu
jangan hiraukan diriku
aku rela berpisah demi untuk dirimu
semoga tercapai segala keinginanmu

pergilah kasih kejarlah keinginanmu
selagi masih ada waktu
jangan hiraukan diriku
aku rela berpisah demi untuk dirimu
semoga tercapai segala keinginanmu

Cerpen Yang berkaitan Manusia dengan Kegelisahan

Cerpen Yang berkaitan Manusia dengan Kegelisahan

Oleh : Resti Pitasari(36412148)
GoodNight.
Di beranda ini, kuhela napas perlahan. Mencoba melepaskan semua penat dan tuntutan yang beberapa waktu terakhir berlomba-lomba memerudukkanku. Ah, tiada apa yang bisa menjamin sebuah kebahagiaan, selain kemahiran bersikap arif terhadap semua ketentuan, bukan?

Entah, apakah tengah berfalsafah atau sekadar mengalihkan penyesalan-dan sedikit keperihan-terhadap keputusanku satu bulan yang lalu untuk tidak ikut serta dalam hajatan akbar itu. Aku tak tahu....

Yang coba kuselami saat ini adalah, bahwa ada sekuntum sunyi yang masih betah berlama-lama tumbuh di dahan malam yang basah. Entah bagaimana, kegelapan dan air langit yang jatuh satu-satu di tempias daun pisang di salah satu sisi pagar, seakan-akan sengaja bertaut demi merajut kesyahduan ini: Sebuah potongan masa yang begitu asyik untuk ditekuni dengan bermenung-menung. Ah, sepertinya aku terlalu mendramatisir keadaan, ya? Mungkin. Namun... jujur, setidaknya itulah yang aku rasakan.

Aku tahu, dari gaya tuturan yang kulontarkan pada mega yang belum menggantungkan bulan di sana, mudahlah bagi kalian untuk menebak seperti apa perasaanku saat ini. Bahagia; sedang jatuh cinta; mencari inspirasi untuk sebuah puisi cinta; baru saja bertemu seorang CEO sebuah penerbitan yang-entah bagaimana asal mulanya-mau menerbitkan sajak-sajakku; atau.... oww, tidak, Kawan! Semua kemungkinan-kemungkinan yang elok didengar, wangi diendus, dan (tentu saja) bergairah untuk diimpikan itu, tiadalah benar adanya. Tak ada itu! Satu kata saja yang akan mewakili apa-apa yang sedang berkeriapan dalam sanubariku: Sentimental.

Aku tak tahu, bagaimana ketersentuhan psikologis itu menderaku. Aku hanya mencoba meyikapi semua yang berlaku pada karib-karibku itu dengan kebijaksanaan yang benar-benar kuupayakan. Aku tengah mengurainya menjadi sebuah perasaan bahagia yang sejatinya memang layak kubahagiai.

"Sanra, lihatlah mereka! Berhasil semua, bukan?"

Aku hanya tersenyum sabit ketika Ibu mengatakan itu beberapa hari yang lalu. Takkah Ibu lihat bahwa aku sudah berupaya membantu keuangan keluarga dengan apa-apa yang kubisa? Memang, mungkin, di mata sebagian sesiapa, apa-apa yang kugiati masih dipandang seperdelapan mata, termasuk oleh orangtuaku sendiri.

"Bukan itu perkaranya, Sanra. Bagaimana kalau kau tua nanti. Apa masih kuat bekerja? Mau kau kasih makan batu anak-binimu?"

Nah, pada Ayah, aku tak semringah-raya ketika ia berkoar, menimpali kata-kata ibu sebelumnya. Aku tak mau-bukannya takut-ayah justru menanggapi reaksiku itu sebagai bentuk peremehan terhadap tuntutannya-bersama Ibu.

Memang sampai sejauh ini, ketiga adikku tak banyak menuntut seperti kedua orangtuaku. Namun, itu hanya masalah pembicaraan di permukaan. Maria yang kini kuliah di semester VII di sebuah Universitas di luar kota pernah mengatakan bahwa rumah kami di Perumnas akan dijualnya demi berpenghidupan dengan cara itu. Aku sempat menentang niatannya itu, namun Ayah dan Ibu justru membelanya.

"Kakak takut tak dapat warisan rumah itu, kan?"

Kalau tak ingat kalau adikku itu adalah seorang perempuan, sudah kugampar ia saat itu juga.

Masri. Adikku nomor dua yang kuliah di semester awal di sekolah tinggi setingkat universitas di kota ini tentu saja masih belum dapat dipastikan bagaimana prinsip hidupnya: berseberangan atau selurusan denganku. Yah, semua berlaku karena hingga kini, biaya kuliahnya masih menjadi tanggunganku. Ketika telah diwisuda kelak, mungkinlah dapat terbaca, akan kemana pikirannya mengembara demi sebuah pekerjaan-mungkin juga kehormatan.

Bagaimana dengan si bungsu? Ai ai, terlalu subuh membicarakan bagaimana Dika yang masih kelas tiga SD itu mencanangkan hari depannya: Menyunggi-nyunggi sebuah gengsi (mungkin semu atau... entahlah!) dan strata 'terpandang' di tengah-tengah masyarakat, atau memilih berpenghidupan dengan apa-apa yang sekiranya bisa diperjuangkan sesuai dengan kecakapan yang dipunyainya. Ah, masih lama itu....

Cicak-cicak yang bercericikan di dekat ventilasi pintu, sekejap mengalihkan lamunanku. Tiba-tiba mataku seakan tersadar pada keadaan sekitar: Malam yang masih merangkak pelan-pelan.

Hai Malam, ada apa dengan mereka yang bersembunyi di balik jubah kelammu itu? Mengapa belum jua mereka menebar lampion biru segilima itu di sekujur gelapmu?

Ya ya ya, dimafhumilah, bebintang itu tertahan dalam renjananya karena malam masih rinai. Serombongan rintik masih setengah memaksa menyeruak dari kelam-raya, berganti-gantian melubangi tanah pekarangan ini. Ah, kadangkala aku berprasangka, bahwa mereka tengah menghiburku dengan instrumentalia alamnya, kesunyiannya yang memainkan melodi yang menyayat-nyayat.

"Sudahlah Sanra, kau teruskan saja pekerjaanmu berwirausaha itu?"

Terimakasih rinai atas pembelaan (atau hanya penghiburan?!) itu. Terimakasih sekuntum sunyi. Terimakasih sebatang malam. Terimakasih... oh ya, apakah aku harus mengucapkan kata itu padamu juga, wahai angin? Atas semua kabar-kabar yang bukan kabar-kabari yang kaukabarkan padaku beberapa hari yang lalu yang menjadi musabab kesemuanya: kemarahan ayah yang memuncak; kekesalan ibu yang remuk-redam; hingga perubahan sikap karib-karibku itu.

Yah, karib-karibku yang dulu kerap menyambangiku dan berdiskusi hangat di beranda ini, tiada pernah menampakkan batang hidungnya lagi.

Dulu, ada-ada saja yang kami bincangkan. Mulai dari kelambanan pemerintah menangani korban bencana alam, kesan ketidakpedulian mereka terhadap penjajahan Israel pada Palestina, tentang berbelit-belitnya birokrasi di negeri ini, tentang walikota terpilih yang ingkar janji, bla bla bla.... Kritis. Tajam. Menusuk hingga meletuskan gelembung adrenalin kami.

Dan... yang masih segar dalam ingatan adalah, kami semua pernah sama-sama turun ke jalan beberapa bulan yang lalu, demi menuntut penegakkan hukum terhadap beberapa orang dekat petinggi pemerintahan daerah yang terlibat kasus korupsi namun dibebaskan dalam sebuah persidangan tertutup.

"Baca itu, Sanra!"

Entah aku lupa, ayah atau ibu yang menyodorkan koran itu padaku di suatu pagi buta. Yang jelas, dengan sangat-sangat terang kulihat di sana. Nama-nama kawan-kawan diskusiku di antara leretan panjang nama-nama lain yang disertai nomor (entah nomor apa?) dan tanggal lahir mereka.

Tiba-tiba, suara sedikit riuh dari dalam rumah membuyarkan lamunan dan pengaduanku pada romantisme malam ini. Kulihat ayah, ibu, Masri, dan Dika sudah di muka pintu.

"Sanra, tadi adikmu Maria menelpon..."

"Ada bukaan di bulan depan!" Ibu memotong kalimat Ayah dengan semangat.

"Iya, Kak. Jangan nggak ikut lagi, ya?" timpal Masri.

Kulihat Dika hanya melongo memperhatikan mereka yang tiba-tiba saja berbicara dengan penekanan yang serius. Tak lama, ia mengalihkan pandangan ke arahku.

Keningku berlipat tiga, mempersilakan ia melempar kebingungan padaku.

"Tadi, abis Kak Maria nelpon, Ibu, Ayah, dan Kak Masri ribut-ribut..."

Hening.

"... PNS itu apa sih, Kak?" tanya Dika polos.

Aku bergegas meraih tubuh adik bungsuku itu. Menggendong sambil mengelitiknya, sebelum bergegas ke dalam. Meninggalkan Ayah, Ibu, Andika, dan sekuntum sunyi yang masih saja tumbuh di sebatang malam yang kelam, yang masih basah, yang kian resah.***
SUMBER : Benny Arnas

lirik lagu drama keadilan by saykoji

Drama Keadilan
oleh: Saykoji

 
  

 

Giring Nidji Keadilan



lirik lagu tentang keadilan

                             Giring Nidji Keadilan

  • kami
    bukanlah generasi muda yg tolol
    kami
    muak dengan ketidakadilan ini

    mau sampai kapan mereka disiksa mati
    padahal mereka menyumbang besar untuk negara

    kami
    bukanlah generasi muda apatis
    kami
    muak melihat hukum dijual murah

    gayus tanpa malu
    bebas bagaikan turis
    tingkah laku blagu
    pake wig lucu tak tahu malu

    anak muda
    teriakkan keadilan
    Indonesia
    perjuangkan keadilan

    orang bijak bilang
    yang benar pasti akan menang
    terkutuk mereka
    yang membunuh dan yang korup

    belalah bangsamu
    janganlah engkau pernah takut
    ku tunggu dirimu
    digerbang jayanya keadilan

    aku muak
    aku benci
    kita dinjak injak

    aku sedih
    melihat ibu bangsa menangis

    keadilan
    keadilan
    demi bangsa
    itulah hak kita
    keadilan
  • 

    

    lirik lagu Michael Jackson – Heal The World Lyrics

                                                    LIRIK LAGU TENTANG KEADILAN
    RESTI PITASARI
    36412148

                                               Michael Jackson – Heal The World Lyrics

    There’s a place in your heart, and I know that it is love
    And this place could be much brighter than tomorrow
    And if you really try, you’ll find there’s no need to cry
    In this place you’ll feel, there’s no hurt or sorrow
    There are ways to get there
    If you care enough for the living
    Make a little space, make a better place
    * Heal the world make it a better place
    For you and for me and the entire human race
    ** There are people dying if you care enough for the living
    Make a better place for you and for me
    If you want to know why, there’s a love that cannot lie
    Love is strong, it only cares for joyful giving if we try
    We shall see in this bliss, we cannot feel fear or dread
    We stop existing and start living
    Then it feels that always love’s enough for us growing
    So make a better world, make a better world
    [Repeat * , **]
    And the dream we were conceived In will reveal a joyful face
    And the world we once believed in will shine again in grace
    Then why do we keep strangling life wound this earth crucify
    Its soul though it’s plain to see this world is heavenly be God’s glow
    We could fly so high let our spirits never die in my heart
    I feel you are all my brothers create a world with no fear
    Together we’ll cry happy tears see the nations turn
    Their swords into plowshares
    We could really get there if you cared enough for the living
    Make a little space, to make a better place
    [Repeat * , ** , * , **]
    [Repeat * , ** , ** , **]
    You and for me (x11)


                                                Michael Jackson – Heal The World Lyrics

    Ada tempat di hati Anda, dan saya tahu bahwa itu adalah cinta
    Dan tempat ini bisa menjadi lebih terang daripada besok
    Dan jika Anda benar-benar mencoba, Anda akan menemukan tidak perlu menangis
    Di tempat ini Anda akan merasa, tidak ada atau menyakiti hati

    Ada cara untuk sampai ke sana
    Jika Anda cukup peduli untuk hidup
    Buat sedikit ruang, membuat tempat yang lebih baik

    * Menyembuhkan dunia membuatnya menjadi tempat yang lebih baik
    Untuk Anda dan bagi saya dan seluruh umat manusia

    ** Ada orang mati jika Anda cukup peduli untuk hidup
    Membuat yang lebih baik bagi Anda dan bagi saya

    Jika Anda ingin tahu mengapa, ada cinta yang tidak bisa berdusta
    Cinta yang kuat, hanya peduli untuk memberikan gembira jika kita mencoba
    Kita akan melihat dalam kebahagiaan ini, kita tidak bisa merasa takut atau ketakutan
    Kami berhenti ada dan mulai hidup

    Kemudian rasanya yang selalu cinta sudah cukup bagi kita tumbuh
    Jadi membuat dunia yang lebih baik, membuat dunia yang lebih baik

    [Ulangi *, **]

    Dan mimpi kami dikandung Dalam akan mengungkapkan wajah gembira
    Dan dunia kita sekali percaya akan bersinar lagi dalam kasih karunia
    Lalu mengapa kita tetap mencekik kehidupan luka ini menyalibkan bumi
    Jiwanya meskipun itu jelas untuk melihat dunia ini menjadi cahaya surgawi Allah

    Kita bisa terbang begitu tinggi membiarkan roh kita tidak pernah mati di hatiku
    Saya merasa Anda semua adalah saudara saya menciptakan dunia dengan takut
    Bersama-sama kami akan menangis air mata bahagia melihat bangsa gilirannya
    Mereka pedang menjadi mata bajak

    Kami benar-benar bisa sampai di sana jika Anda cukup peduli untuk hidup
    Buat sedikit ruang, membuat tempat yang lebih baik

    [Ulangi *, **, *, **]

    [Ulangi *, **, **, **]

    Anda dan bagi saya (x11)
      

    Resti Pitasari

    Npm : 36412148

    Manusia dan Keadilan



    Pengertian Keadilan
    Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut disebut tidak adil.
    Keaadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri dan perasaannya dikendalikan oleh akal. Socrates memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan akan tercipta bilamana warga Negara sudah merasakan bahwa pemerintah sudah melakukan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan kepada pemerintah ? sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat. Kong Hu Cu berpendapat bahwa keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
    Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan pelakuan yang seimbang antara hak-hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntuk hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi hak nya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama.

    Berbagai Macam Keadilan
    1. Keadilan legal atau keadilan moral
    Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan oleh yang lainnya disebut keadilan legal

    1. Keadilan distributive
    Aristotele berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan tidak sama (justice is done when equels are treated equally).

    1. Keadilan komutatif
    Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat
    Kejujuran
    Kejujuran atau jujur artinya apa-apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan, yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur berarti juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam hati nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.

    Kecurangan
    Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hari nuraninya atau, orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan berusaha. Kecurangan menyebabkan orang menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya, dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita. Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, ada 4 aspek yaitu aspek ekonomi, aspek kebudayaan, aspek peradaban dan aspek teknik. Apabila keempat asepk tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan.

    Pemulihan nama baik
    Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menajaga dengan hati-hati agar  namanya baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan bama baik atau tidak baik ini adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatn-perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya. Pada hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan ahlak yang baik. Untuk memulihkan nama baik manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepaa sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang , tanpa pamrin, takwa terhadap Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.

    Pembalasan
    Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya pergaulan yagn penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia. Oleh karena itu manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.

    Sumber: Seri Diktat Kuliah MKDU: Ilmu Budaya Dasar karya Widyo Nugroho dan Achmad Muchji, Universitas Gunadarma

    CERPEN YG BERKAITAN MANUSIA DENGAN KEGELISAHAN

     

    SIMPLICITY

    CERPEN YG BERKAITAN MANUSIA DENGAN KEGELISAHAN

    demi hari yang tak pernah melengos, laju lurus waktu, tak pernah mundur. Di belahan bumi yang gelap aku duduk di atas batu pinggiran daratan luas, angin malam menyergap kegalisahan, bulan dan bintang menemani sepi, yang sendiri. Kelelawar seliweran, satu dari mereka menghampiriku.
    “Hai orang yang gelisah. Buatlah gelisahmu jadi penasaran, itu lebih baik agar kau mau bergerak, dari pada kau hanya berputar-putar dengan kagalisahanmu, diam dan cuma mendengarkan cerita kegelisahmu itu.”
    “Apa maksudmu, kelelawar. Apa itu kata pendahuluanmu untuk menyampaikan sesuatu padaku, berita malam apa yang kau bawa.”
    “Ya, memang. Seharusnya kau sudah bisa menebak kabar ini, karena kegelisahanmu sudah cerita berkali-kali padamu. Di daratanmu akan acara yang mengundang banyak orang, acara penyunting jilidan lontar seorang petapa.”
    “Ya, itu aku tahu. Tapi apa yang mengharuskan kegelisahan ini ku jadikan penasaran. Biasa sajakan, setiap acara seperti itu pasti mengundang banyak orang dan bahkan dari luar daratan ini.”
    “O, masih belum kau sadari juga cerita kegelisahmu, bahwa ada petanda yang akan datang padamu dan petanda itu dibawa oleh seseorang dari meraka yang datang ke acara itu, mereka yang berasal dari daratan seberang. Seseorang itulah yang harus jadi penasaranmu yang nanti kau tunggu, kau cari, kau temukan. Dialah yang membawa petanda itu.”
    “Siapa dia, dan petanda apa yang ia bawa?”
    “Carilah sendiri dan tanyakan pada dia petanda apa yang ia bawa untukmu. Sudahlah, aku pergi, aku tak mau kau buat malam ini sia-sia untuk membicarakan hal itu denganmu, mangsaku sedang menantiku.”
    “Hai kelelawar, jangan pergi dulu!”
    “Cari saja sendiri, usahalah sedikit” kelelawar itu pun melesat pergi.
    Pagi ini lebih cerah dari biasanya, seakan langit membocorkan udara surga ke bumi. Seperti pagi-pagi yang lalu, aku sudah duduk jigang di warung pinggir jalan simpang tiga belakang rumahku, menyeduh kopi pahit dan mencumbui rokok menthol kesukaanku. Lalu lalang pengguna jalan sudah jadi pemandangan yang biasa, jika ada yang kenal ya saling sapa, kalau tak kenal ya ku lihat cuek dia berlalu. Disaat seruputan terakhir yang paling nikmat, ada yang menyapaku,
    “Hai kawan, tumben wajah gelisahmu tak seperti biasanya.”
    “Hai kau, tahu apa kau tentang wajah gelisahku, kau hanya seekor anjing khafilah yang tinggal di pendopo pendeta agung. Kawan, aku sekarang tak hanya gelisah yang diam, tapi juga penasaran yang bergerak untuk berusaha menanti dan mencari seseorang.”
    “Augh…… walau aku seekor anjing, tapi anjing yang lebih tahu darimu. Augh…. Siapa seseorang itu?”
    “Dia salah satu orang yang akan menghadiri penyunting jilidan lontar sang petapa besok malam.”
    “Augh…. Pasti seseorang yang membawa petanda untukmu, seseorang yang sering kudengar dari cerita kegelisahanmu. Tapi, bagaimana kau yakin dapat menemukan dia?”
    “Aku yakin karena kegelisahanku tak pernah meleset, lagi pula aku juga dapat kabar dari kelelawar semalam.”
    “Augh…. Begitu. Baiklah, selamat menunggu, penasaran!”
    “Kawan, apa kau tahu tentang dia? Barang kali kau pernah dengar dari tuanmu atau sang pendeta itu.”
    “O, tidak. Augh…. Sudah jangan tanya lagi, percuma aku tak tahu apa-apa tantang dia. Kalau pun tahu aku tidak akan memberi tahumu. aku pergi dulu, kawan.”
    Apapun yang terjadi, aku yakin kegelisahanku akan menemukan muaranya, dan penasaranku juga akan terjawab dengan kedatangnya yang memberitahukan patanda untukku. Walau aku tahu akan ada kegelisahan lain yang muncul setelah itu. Suasana sore yang cantik berpoles jingga di kaki langit barat yang menelan matahari, semakain membuatku tak sabar menanti saat-saat itu yang tinggal semalam. O, begitu romantisnya rasa kegelisahan, penasaran membeku dalam lamunan yang terindah. Daun jatuh dipelataran pendopo pendeta agung berbisik padaku sebagai pesan terakhirnya, “Hai orang penasaran. Demi jinggaku sayang, angin menitipkan salam dari dia padaku untukmu. Semalam nanti dia akan berangkat dari daratan dengan kereta sarden ke daratan ini.”
    Demi waktu jingga yang menghitam, malam yang hitamnya gagah mendekap putih bulan dan kerlip bintang, aku merasa jabatan tangan telah terjadi bersama pesan yang disampaikan daun padaku. Seperti malam yang kemarin, aku duduk diatas batu pinggiran daratan luas, angin menyergap kegelisahan, sepi, yang sendiri. Walau berkali-kali mendengar cerita kegelisahan yang sama, aku tak merasa jemu, sampai hari yang ditunggu tiba.
    Pekat malam, hitamnya sayang, inilah saat yang ditunggu-tunggu semua orang. “Gong… gong… gong….” Suara gong menara padepokan, tepat sebelah kiri pendopo pendeta agung bergema ke seluruh penjuru daratan, sebagai tanda acara penyunting jilidan lontar sang petapa akan dimulai di pendopo itu. Semua orang pun berduyun-duyun datang, orang-orang sekitar daratan ini maupun daratan seberang berkumpul, duduk sama rata bersila tanpa perbedaan. Tepat pada waktu yang telah ditentukan, Uboh rampe, hidangan di suguhkan dan segala keperluan disiapkan. Ketika suasana hikmat, acara pun dimulai.
    Kehikmatan suasana dalam acara itu membuatku tak nyaman. Aku terus digerus kegelisahan, penasaran membuatku gusar tak karuan. Ditengah acara yang panjang, kejenuhan pun menghinggapi sebagian dari mereka yang ada dibarisan belakang, suasana mulai riuh, lalu melunjak gaduh oleh canda tawa, yang tak membuat barisan depan kehilangan khusyuknya. Itu sudah wajar terjadi. Kesempatan bagiku, yang juga di barisan belakang, ikut mengalir kegaduhan canda tawa mereka sembari mencari tahu tentang seorang pembawa petanda untukku. Kemudian mereka memberitahukan ku sebuah nama dan orangnya, ya, seseorang yang kumaksud.
    Sejenak aku diam, kupandangi saja dia sambil mendengar kegelisahanku mengiyakan, bahwa dialah sang pembawa petanda. Lalu aku mencari cara, bagaimana aku bisa mendekatinya. Sekali ku coba melewatinya, untuk mengambil beberapa cangkir kopi. Tapi masih belum ku dapati caranya. Ku amati lagi, sambil menikmati kopi dan sebatang rokok. Ya, aku dapat, dan ini pasti berhasil. Aku yakin. Lalu ku temui cantrik padepokan yang ku kenal baik, yang duduk bersebelahan dengan dia dan sedikit babibu ku yang ramah, cukuplah jadi alasan.
    “Ae… cantrik. Maaf, aku tidak bisa membantu banyak untuk acara ini”
    “O, tak apalah. Dengan kehadiranmu pun sudah membantu.”
    “Boleh aku diperkenalkan dengan……!?” dengan setengah berbisik,
    “O ya, kenalkan, dari daratan seberang”
    “Hai, aku Nanda.”
    “Kuprit.” Ku sebut namaku di perkenalan yang wajar, lalu jabatan tangan yang bukan sekedar rasa dari kegelisahan, nyata. Keakraban dari setiap perbincangan yang mengalir, membuat lupa kekhusyuan acara. Ku tawarkan rokok menthol padanya, kebetulan juga dia suka.
    Waktu terus menggelinding, percakapan kami makin asyik, tak terasa acara pun usai, suasana jadi gaduh riuh. Ada yang bergegas pamit, ada yang masih ditempat untuk sekedar beramah tama, membaur keakraban satu sama lain. Yang belum kenal jadi kenal, yang belum dekat hubungannya jadi lebih akrab. Sedangkan para cantrik sibuk membereskan seluruh perlengkapan yang telah dipakai, dan mengemasi barang-barang ketempatnya masing-masing. Aku tak bergegas pulang, karena masih ada yang harus ku cari, tanda yang dibawa Nanda. Aku turut membaur ditengah para cantrik yang di pendopo, bersama orang-orang daratan seberang.
    Pagi datang, hitam malam lenyap disapu matahari dengan sinarnya. Aku pun pamit pulang, berjalan gontai, tubuhku lemas, tenaga yang terkuras begadang semalam bersama para cantrik, ngobrol dengan Nanda. Sesampai di rumah, aku merasakan kegelisahanku menjerat semakin erat, terasa begitu beda kali ini. O. aku yakin, inilah kegelisahan lain yang datang, yang sudah aku kira sebelumnya, kegelisahan baru setelah pertemuanku dengan Ciput. Ah, apa aku ini, kegelisahan yang bercampur bingung, mencari sesuatu yang belum pernah aku temui. Ya, aku harus menemui dia kembali untuk memastikan tanda apa yang dia bawa untukku, aku tak perlu khawatir, dia bilang akan tinggal di daratan ini beberapa hari, dan semalampun aku sudah sengaja membuat sedikit ikatan emosi., dengan membuat janji mengantarkan dia jalan-jalan ke taman pelangi dan mengarungi telaga endut yang menjadi terkenal di daratan ini.
    Saat pagi sebentar siang, aku duduk di teras rumah, aku mendengarkan cerita dari kegelisahan baruku untuk pertama kali, aku meyakininya sebagai petunjuk mengetahui tanda yang dibawa orang dari negeri seberang itu, seperti aku meyakini cerita kegelisahanku sebelumnya. Tapi, keyakinan itu terbentur kebingungan yang tak jelas arahnya. Untuk apa tanda itu dan bagaimana rupa tanda itu, tak jelas ku ketahui dari cerita kegelisahanku.
    “Hai, orang gelisah!” suara yang tak ku hiraukan, entah siapa dan darimana suara itu.
    “Hai, orang gelisah!” suara itu lebih keras memanggilku, yang menyita perhatianku.
    “Hai, siapa yang memanggilku itu?” balasku.
    “Aku, disini, disamping kakimu, ini si lalat yang memanggilmu. Aku memperhatikanmu sejak tadi, apa sebenarnya yang kau gelisahkan?”
    “Eh, kau si lalat. Untuk apa kau bertanya tentang kegelisahanku.”
    “barang kali saja aku bisa membantumu untuk mencari jalan keluar dari kegelisahanmu itu. Aku hanya kasihan saja padamu. Kita hidup saja, sudah susah, apalagi ditambah dengan kegelisahan yang membuat mandegnya perjalanan kita meneruskan hidup, ya paling tidak itu menyita, dapat kesia-siaan saja. Kasihan.”
    “Tahu apa kau tentang kegelisahanku, aku takkan memberitahu siapapun tentang kegelisahanku, dan juga kau. Kau tak perlu berkhotbah tentang hidup didepanku”
    “Brrrr…. hai kawan, tak perlu emosi. Aku hanya mengingatkan saja, bahwa kegelisahan hanya membebani hidup kita saja.”
    “O, begitukah pendapatmu tentang kegelisahan. Ku hargai pendapatmu dan terimakasih kau mengingatkan aku. Tapi sayang, aku tak perlu mendengarkanmu. Hidupmu saja tak punya warna, bagaimana kau mengerti tentang kegelisahan dalam hidup. Kau hanya bisa membuat kegelisahan, dengan berseliweran membuat suara berisik dan hinggapi makanan-makanan setelah kau hinggapi kotoran, jijik.”
    “Brrrr…. Wessst. Emosi!? Lalu apa pendapatmu tentang kegelisahan itu sendiri, sehingga kau anggap itu adalah warna untuk kau torehkan diatas kanvas, untuk membuat penggalan pesan dalam sejarah hidupmu, agar kau dianggap aktor sandiwara top, padahal kau tak berarti apa-apa dalam catatan kehidupan, yang begitu panjang dan melelahkan untuk di eja.”
    “Haah… berisik! pusing, pusing kepalaku ini mendengarkan ocehanmu.” Lalu aku pergi meninggalkan lalat itu.
    “Ting tang…. Ting tang…” jam 2 siang, aku bergegas pergi menemui Nanda untuk memenuhi janjiku. Aih… kesempatan. Ku hampiri dia yang sudah menunggu di depan gapuro pendopo, siap untuk menjejakkan kaki, menelusuri jalan menuju taman pelangi dan telaga endut. Langkah demi langkah jejak kami menindih jejak lama, menghentak tanah seperti membuat prasasti kesaksian pada bumi. Suara-suara kami ditangkap dengan sigap oleh angin dan dihempaskan ke segala penjuru lalu di tempelkan di setiap permukaan daun-daun, bagaikan ukiran dinding goa. Ada warna-warna yang muncul begitu saja menghiasi sayap-sayap peri, hitam-putih, biru-jingga, merah-ungu bermotif batik seperti kupu-kupu yang baru bebas dari serat kepompongnya, terlihat begitu indah di taman pelangi.
    Angin berhembus romantis, terasa begitu mesra membelai tubuh kami saat duduk berdua di tepi danau endut yang nampak berkilau jingga, kejernihan sempurna memantulkan warna senja. Terbius decak kagum pada alam, demi Tuhan yang telah menciptakan keindahan dengan guratan-guratanNya yang tak pernah mampu dibaca sempurna oleh manusia. Cita rasa Sang Maha Indah takkan pernah tertandingi. Di luas langit, ada puncak rasa-rasa yang terbang bersama burung-burung pipit yang kembali ke sarangnya diatas pohon. Lelah perjalanan tak mampu menembus kepuasan rasa pada hati yang disemai bunga oleh peri-peri.
    Demi malam yang hitamnya gagah memeluk bulan dan kerlip bintang, putihnya semakin mempesona, aku antar dia kembali ke pendopo, melepas lelah semalam lagi sebelum kembali dia pamit. Serabut bayangannya menerobos mimpi, sungguh ia membuat jaring di sudut ruang, seperti laba-laba hitam mencuri cela angin-angin kamarku. Malam ini, aku sedang tak ingin duduk diatas batu. Aku ingin semalam ini hanya dalam kamarku, duduk menghadap kanvas putih dan mengoleskan warna-warna kegelisahan, yang tak pernah menemukan muaranya. Ku gambar tanda-tanda itu sebagai penggalan cerita terindah sepanjang suratan napasku.
    Perpisahan setelah pertemuan sudah wajar harus diterima, rela atau tidak rela, kulepas kepergiannya dengan do’a, kembali ke daratan asalnya. Demi waktu yang akan berakhir tanpa akhiran, cerita-cerita kegelisahan itu kosong dan akan tetap sama hingga kegelisahan bertemu muaranya.

    SUMBERE : http://www.kapasitor.net/id/cerpen/post/2002

    Minggu, 02 Desember 2012

    manusia dengan kegelisahan

                                                manusia dengan kegelisahan

    Pengertian Kegelisahan, Keterasingan, Kesepian dan Ketidakpastian

    1. PENGERTIAN KEGELISAHAN
    Kegelisahan berasal dari kata gelisah , yang berarti tidak tentram hatinya , selalu merasa khawatir, tidak tenang, tidak sabar, cemas. Tidak lain dari semua itu adalah reaksi natural psikologis dan phisiologis akibat ketegangan saraf dan kondisi-kondisi kritis atau tidak menyenangkan. Pada masing-masing orang terdapat reaksi yang berbeda dengan yang lain, tergantung faktor-faktornya, dan itu wajar. Adapun bahwa manusia selalu merasa gelisah hingga membuatnya mengeluarkan keringat dingin, jantungnya berdetak sangat kencang, tekanan darahnya naik pada kondisi apa pun.

    Kegelisahan menipakan salah satu elcspirsi dari kecemasan. Karena itu dalam kehidupan sehari-hari, kegelisahan juga diartikan sebagai kecemasan, kekawatiran ataupun ketakutan. Masalah kecemasan atau kegelisahan berkaitan juga dengan masalah frustasi, yang secara definisi dapat disebutkan, behwa seseorang mengalami frustasi karena apa yang diinginkan tidak tecapai.

    ada tiga macam bentuk kecemasan, antara lain sebagai berikut ;
    • Kecemasaan Objektif
    • Kecemasan Nerotis (Syaraf)
    • Kecemasaan Moril


     SEBAB-SEBAB ORANG GELISAH
    Apabila di kaji, sebab sebab orang gelisah adalah karena mereka takut kehilangan berbagai macam haknya seperti hak untuk hidup, hak milik, hak memperoleh perlindungan dan lain-lain.


    USAHA-USAHA MENGATASI KEGELISAHAN
    Mengatasi kegelisahan ini pertama-tama hams mulai dari diri kita sendiri, yaitu kita hams bersikap tenang. Dengan sikap tenang kita dapat berpikir tenang, sehingga segala kesulitan dapat kita atasi.
    sedangkan cara yang paling ampuh untuk mengatasi kegelisahan adalah dengan berserah diri kepada tuhan.



    2. KETERASINGAN
    Terasing atau keterasingan adalah bagian hidup manusia. Sebentar atau lama orang pemah mengalami hidup dalam keterasingan, sudah tentu dengan sebab dan kadar yang berbeda satu sama lain.

    Keterasingan disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
    • Faktor intern, atau fakor yang berasal dari dalam diri sendiri seperti merasa berbeda dengan orang lain, rendah diri dan bersikap apatis dengan lingkungan.
    • Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar diri. Faktor ini pun biasanya bersumber pada faktor yang pertama.

     
    3. KESEPIAN
    Kesepian berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau lengang, sehingga kata kesepian berarti merasa sunyi atau lengang, tidak berteman. Setiap orang pemah mengalami kesepian, karena kesepian bagian hidup manusia, lama rasa sepi itu bergantung kepada mental orang dan kasus penyebabnya.


    4. KETIDAKPASTIAN


    Ketidak pastian berasal dari kata tidak pasti artinya tidak menentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu, tanpa arah yang jelas, tanpa asal-usul yang jelas. Ketidak pastian artinya keadaan yang tidak pasti, tidak tentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu, keadaan tanpa arah yang jelas, keadaan tanpa asal-usul yang jelas. Itu semua adalah akibat pikirannya tidak dapat konsentrasi. Ketidak konsentrasian disebabkan oleh berbagai sebab, yang jelas pikirannya kacau.

    • Usaha-usaha Mengatasi Ketidakpastian
    Orang yang tidak dapat berpikir dengan baik, atau kacau pikirannya ada bermacam-macam penyebabnya. Untuk dapat mengatasi keadaan itu bergantung kepada mental si penderita. Andaikata penyebab sudah diketahui, kemungkinan juga tidak dapat diatasi. Bila hal itu terjadi, mungkin jalan yang paling baik bagi penderita ialah diajak atau pergi sendiri ke pisikolog.




    source : http://pakguruonline.pendidikan.net
    

    Kamis, 25 Oktober 2012

    kuatkan aku


    kesunyian selalu temani setiap detik ku
    mataku dipenuhi dengan sengsara
    hanya debu yang setia temani ku disegala rasa
    ku nikmati semua dengan amat tersiksa

    sesungguhnya aku tak ingin seperti ini
    tapi jalan sudah ditentukan oleh sang kuasa
    aku tetap ingin membuatmu tertawa
    walau aku tau aku berbeda..

    terasingkan diruang gelap dan sesak, penuh dengan debu derita
    aku tau aku berbeda, aku berbeda dan terluka
    tapi cinta yang menguatkan ku
    cinta yang membuatku bangkit dari keadaan ini

    Senin, 22 Oktober 2012


    Kisah Pendonor Seluruh Tubuh

    manusia diberi kelebihan oleh sang pencipta untuk mempunyai rasa kasih dan sayang dan kepedulian terhadap keluarga,teman dan kerabat..terutama kepedulian terhadap manusia.
    dizaman yang serba sulit seperti ini masih ada seseorang yang masih mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap sesama yang rela mendonorkan seluruh organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkannya..

    Contoh Kasus   :

    KLIK - Detail













    Suatu tindakan langka bagi masyarakat pada umumnya, dilakukan pria ini. Ia mendonorkan seluruh tubuhnya demi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Namun, bagi keluarganya, tindakan itu justru sangat membanggakan.
    Suasana berkabung masih menyelimuti kediaman keluarga Soesanto (57), di Malang (Jatim). Sosok Boedi Setiawan (75), kakaknya, kini tak lagi muncul di tengah kehidupan rumah tangga keluarga itu. Pria yang lebih memilih tak beristri di masa hidupnya ini, telah menghadap Yang Kuasa karena sakit.

    Di balik kedukaan itu, hati Soesanto merasa tenang karena telah meluluskan wasiat kakaknya. Semasa hidup, Boedi beramanat akan merelakan seluruh organ tubuhnya agar bermanfaat untuk kepentingan orang yang membutuhkan. Pengorbanan ini sangat berharga, terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kedokteran.

    Tak heran rumah Soesanto yang asri itu dipadati pelayat. Tak hanya kerabat dekat dan masyarakat sekitar tempat tinggal, beberapa tim medis dari RSUD Dr. Syaiful Anwar, Malang juga hadir. Malam itu juga, tim medis yang terdiri dari dr. Narnels, SpM dan seorang perawat segera mengangkat kornea mata Boedi. Kornea tersebut akan diberikan untuk pasien yang telah mengalami kebutaan.

    Setelah disemayamkan tiga hari di rumah duka Panca Budi, Malang, Minggu lalu jenazah Budi diusung ke Laboratorium Anatomi Universitas Brawijaya (Unbra), Malang. Seperti diamanatkan Boedi, tubuhnya memang diserahkan ke Unbra untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

    Sebelumnya, dilakukan upacara sebagai serah terima dari pihak keluarga kepada pihak perguruan tinggi. Notaris Prima Cipta ditunjuk untuk membuat berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. "Saya membuat berita acara, menggantikan notaris Pak Boedi yang telah meninggal terlebih dahulu, " ungkap Prima.

    Refrensi:
    http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=1270